Sabtu, 24 Februari 2018

Bangsa Sunda NusantaRA dengan Ajaran(agama) SUNDAYANA.


Sumber : https://ncepborneo.wordpress.com
                           bibliotecapleyades.net



Nenek moyang kami,
Bangsa Sunda NusantaRA dengan Ajaran(agama) SUNDAYANA.
Leluhur kuno kita - bahwa saya mengerti sebagai 'nenek moyang' makhluk menjajah, yang datang ke planet ini dan mengambil bagian dalam penciptaan dan hibridisasi dari ras manusia - dijelaskan oleh Maha Resi Dîrgatamas(DirgantaRA).
(Mitos Sangkuriang anak Dayang Sumbi. Ayah Dayang Sumbi merupakan mahluk cahaya/Resi/Sinar. Dan Ayah Sangkuriang SI(rius)TUMANG personifikasi mahluk dari BINTANG ANJING, Sirius.
Nenek moyang yang jauh lebih maju dari kita hari ini baik dalam teknologi dan metafisik Kebijaksanaan-pengetahuan, mereka memanipulasi spektrum frekuensi gelombang-bentuk, fisika plasma, sinar kosmik, medan magnet, dll melalui modulasi suara untuk mengentalkan dan menghasilkan berbagai bentuk.

render intuitif saya:

Nenek moyang manusia, di luar di langit(HYANG),
Nenek moyang kita, nenek moyang yang jauh terpencil di ruang angkasa(Nini Anteh).

Mulut, [bergerak 'rahang' yang berbicara frekuensi suara kuat dengan] atom.
Pengetahuan [metafisika atom (anu), fisika partikel kuantum] di bawah ini,
[Sini] dalam mensukseskan [bumi] waktu.

Orang yang tercerahkan, yang kuno dan alien [tidak dari Bumi],
Bijaksana, mengetahui, penyair-pelihat, tiba di sini mereka mengatakan sebelum(Purba), di luar masa lalu [saat bumi kita], sehingga [dari] jauh melampaui/PurbaWisesa. Mereka berbakat dengan “Insight’ nada ucapan  diatur, [berubah] Pikiran pikir-ide [sebagai vac] SuaRA-Light, mana, dari yang diproduksi tersebut lahir, di dunia ini.

Penjajah dari planet Bumi tidak menggunakan mesin pembakaran untuk melintasi ruang atau bahkan energi atom.(hanya di butuhkan hati yang puth bersih).

Teknologi mereka jauh lebih maju bahwa apa pun yang kita belum membayangkan dan termasuk mengatur  waktu. Misalnya plasma adalah bentuk paling berlimpah materi di alam semesta, sehingga tidak ada kartel plasma

Menggunakan frekuensi suara, leluhur kami diarahkan plasma angin Solar dan sumber plasma yang terus mengalir melalui ruang, termasuk ledakan sinar gamma dan ledakan bintang. Plasma memiliki konduktivitas yang tak terbatas dan terkonsentrasi untuk digunakan mereka.

Polar Regions, seperti Arctic Circle, menerima intensitas terbesar dari energi plasma matahari.

Medan magnet dipol planet bumi bertindak sebagai konduktor berkonsentrasi alami.
Dalam pertemuan dengan medan magnet dipole planet Bumi, plasma terkonsentrasi itu disalurkan melalui daerah kutub, melalui inti bumi, dan ke dalam piramida yang terletak di sekitar planet ini.

Di era itu, piramida menjabat sebagai pengumpul dan transduser, untuk menciptakan torus dan berkonsentrasi energi yang dihasilkan dari plasma ke jalur yang koheren intens. [referensi Inanna Mengembalikan , Bab X, The Ekur]

Meniru nenek moyang.
Suara memiliki spektrum yang luas dari efek pada semua bentuk, halus dan padat, semuanya termasuk air, emosi dan perasaan kita. Maha Resi yang terdiri mantRA, tahu ini dan kita berusaha untuk menduplikasi teknologi progenitor mereka.

Namun, seiring berjalannya waktu dan manusia bergerak lebih jauh ke dalam siklus waktu, pengetahuan ini terselubung (halimun) di lapisan berkurang kesadaran sebagai,
"Kerak ritualisme hampir sepenuhnya menyelimuti makna spiritual yang mendalam dari mantRA"
Dan sampai menjadi tak mengerti belaka hafal pengulangan hafalan.
Para Puun(pemimpin) yang benar dalam menjaga mantRA hafal persis seperti mereka telah diwariskan dari generasi ke generasi yang tak terhitung jumlahnya, karena kekuatan mereka tetap terkunci dalam suaRA(HUNG).

Implikasi dimensi dunia mengenai nenek moyang berada dalam dimensi luas cakRAwala
Sebagai pelengkap yang mengejutkan bagi saya.
Biarkan saya meyakinkan pembaca bahwa saya tidak mendekati ini  dengan maksud bahwa saya akan menemukan bukti untuk kolonisasi planet Bumi.

Bahkan, penemuan saya bahan bakar roket [dalam ayat III.44.5] membuat saya menyingkirkan penelitian dan rendering saya untuk sementara waktu.

Beberapa akan mengatakan bahwa off-planet Bias adalah filter tertanam saya karena saya setelah melihat lebih dari 30 UFO dan visi yang membentuk  perspektif saya.

Ini adalah sama untuk semua orang. Saya tidak meminta maaf, tetapi saya ingin menekankan seperti yang saya miliki di masa lalu, bahwa dalam menghubungkan “Ibu Lemah Cai, Ibu Bumi, Ibu Pertiwi) dengan kolonisasi dunia planet biru-hijau(air dan tanah).
Tentunya studi hormat terus saya menunjukkan bahwa saya sungguh-sungguh menghormati MahaResi dan suci mantRA pujian  mereka.

Sebelum zaman es,  Era PURWANING SUNDA BIHARI(1-2 juta tahun lalu).“Mandala PaRA-Hyang” (dilebah Kanekes atawa “Baduy Kiwari”). Mandala PaRA-Hyang yaitu “Mandala Kahiyangan” (=mandala gaib)  yang masih tetap ada sampai sat ini. Era  PURWAYUGA Sunda bihari saat manusia purba, “Lutung-Kasarung”. Dimulai nya sejarah Sunda NusantaRA dan masuk ke dalam Era PURWAYUGA SUNDA BIHARI,  Era PARAHIYANGAN PerbangkaRA(50.000 tahun lalu). Era  “MahaRAja RESI-” atau “MahapRAbu-RESI” yang meliputi kawasan PaRA-HYANGan Purbakala (purbangkaRA = purba-kala), yaitu “Galunggung = Galuh Hyang Agung”. Dalam mitologi Sunda NusantaRA dongeng legenda “Dayang Sumbi dan Sangkuriang” disebutkan bahwa MahaRAja-Resi PaRA-HYANGan saat itu bernama “RAtu SUNGGING PerbangkaRA”. Jaman Pra-Sejarah. Era PaRA-HIYANGan SANGKURIANG(10.000 tahun lalu). Cerita Talaga Bandung, yaitu “Sumur Bandung” atau “Leuwi Sipatahunan”. Era SUMUR BANDUNG (kerajaan -kerajaan kecil).
Era DWIPANTARA(“NUSA KENDENG”) JAWADWIPA khususnya, diwilayah DwipantaRA pada     jaman SUNDASeMBAWA yang membawa  misi ajaran SUNDAYANA.
Terakhir adalah Era SalakanagaRA sampai ke  TarumanagaRA.

Kami memiliki ayat-ayat mengungkapkan di mana tidak hanya Karuhun/Buhun tetapi eksploitasi mereka dikatakan kuno, jelas berarti bahwa prestasi yang dibicarakan dalam mantra yang tradisional dan tidak disaksikan oleh penyair sendiri ... "
Implikasi dari hal ini adalah bahwa MahaResi melakukannya dalam memori tradisi primordial sudah kuno dan mereka dapat memanggil “mereka”,  dengan ucapan Matra.

Mantra diucapkan, tidak ditulis, dan disimpan di memori selama ribuan tahun.
 (kita tidak perlu mengajar anak kecil menulis dan membaa saat kita mengajarkannya bernyanyi, KONSEP SEDERHANA).
MahaResi menempatkan diri dibawah alam sadar yang lebih tinggi.
Bila kita mempertanyakan hal tersebut di atas kepada para pini-sepuh umumnya mereka menjawab; “…aing oge teu nyaho… jug we teang jeung tanyakeun ku sia ka jelema anu geus pernah panggih jeung nu suwung…” (artinya, …saya juga tidak tahu… silahkan cari dan tanyakan oleh mu kepada orang yang pernah bertemu dengan ketiadaan…).

Bagi orang-orang yang merasa penasaran untuk mencari Allah / God ada sebuah pepatah yang cukup bijaksana yaitu: “…teang tapak heulang di awang-awang… teang tapak meri dina leuwi… jeung teang tapak sireum dina batu…” (artinya, …carilah jejak elang di angkasa… carilah jejak itik di sungai… dan carilah jejak semut di batu…).
Kesadaran mereka begitu sangat tinggi,manttra luar biasa mereka terbentuk dalam pantun/Tutungkusan Karuhun.

Sampurasun,,,
Berdasarkan “Sastrajenrahayuningrat” istilah “Sunda” dibentuk oleh tiga suku kata yaitu SU-NA-DA yang artinya adalah “matahari” ;
–          SU = Sejati/ Abadi
–          NA = Api
–          DA = Besar/ Gede/ Luas/ Agung
Dalam kesatuan kalimat “Sunda” mengandung arti “Sejati-Api-Besar” atau “Api Besar yang Sejati atau bisa juga berarti Api Agung yang Abadi”. Maksud dan maknanya adalah matahari atau “Sang Surya” (Panon Poe/ Mata Poe/ Sang Hyang Manon). Sedangkan kata “Sastrajenrahayuningrat” (Su-Astra-Ajian-Ra-Hayu-ning-Ratu) memiliki arti sebagai berikut;
–          Su = Sejati/ Abadi
–          Astra = Sinar/ Penerang
–          Ajian = Ajaran
–          Ra = Matahari (Sunda)
–          Hayu = Selamat/ Baik/ Indah
–          ning = dari
–          Ratu = Penguasa (Maharaja)
Dengan demikian “Sastrajenrahayuningrat” jika diartikan secara bebas adalah “Sinar Sejati Ajaran Matahari – Kebaikan dari Sang RAtu” atau “Penerangyang Abadi Ajaran Matahari – Kebaikan dari Sang MahaRAja” atau boleh jadi maksudnya ialah “Sinar Ajaran Matahari Abadi atas Kebaikan dari Sang Penguasa/ RAtu/ MahaRAja NusantaRA”, dst.
“Sunda” sama sekali bukan nama etnis/ ras/ suku yang tinggal di pulo Jawa bagian barat dan bukan juga nama daerah, karena sesungguhnya “Sunda” adalah nama ajaran atau agama tertua di muka Bumikeberadaannya jauh sebelum ada jenis agama apapun yang dikenal pada saat sekarang.
Agama “Sunda” merupakan cikal-bakal ajaran tentang “cara hidup sebagai manusia beradab hingga mencapai puncak kemanusiaan yang tertinggi (adi-luhung). Selain itu agama Sunda juga yang mengawali lahirnya sistem pemerintahan dengan pola karatuan  (kerajaan) yang pertama di dunia, terkenal dengan konsep SI(rius)TUMANG (RAsi-RAtu-RAma-Hyang) dengan perlambangan “anjing” personikasi dari rasi BINTANG ANJING, SIRIUS, (tanda kesetiaan).
Ajaran/ agama Sunda (Matahari) pada mulanya disampaikan oleh Sang Sri RAma Mahaguru RAtu RAsi Prabhu Shindu La-Hyang (Sang Hyang Tamblegmeneng) putra dari Sang Hyang Watu Gunung RAtu Agung Manikmaya yang lebih dikenal sebagai Aji Tirem (Aki Tirem) atau Aji Saka Purwawisesa.
Ajaran Sunda lebih dikenal dengan sebutan Sundayana(yana = way of life, aliran, ajaran, agama) artinya adalah “ajaran Sunda atau agama Matahari” yang dianut oleh bangsa Sunda NusantaRA, , khususnya Galuh di Jawa Barat.
Sundayana disampaikan secara turun-temurun dan menyebar ke seluruh dunia melalui para Guru Agung (Guru Besar/ BataRA Guru), masyarakat Jawa-Barat lebih mengenalnya dengan sebutan Sang Guru Hyang atau “Sangkuriang” dan sebagian lagi memanggilnya dengan sebutan “Guriang” yang artinya “Guru Hyang”juga.
Landasan inti ajaran Sunda adalah “welas-asih” atau cinta-kasih, dalam bahasa Arab-nya disebut “rahman-rahim”, inti ajaran inilah yang kelak berkembang menjadi pokok ajaran seluruh agama yang ada sekarang, sebab adanya rasa welas-asih ini yang menjadikan seseorang layak disebut sebagai manusia. Artinya, dalam pandangan agama Sunda (bangsaSunda NusantaRA) jika seseorang tidak memiliki rasa welas-asihmaka ia tidak layak untuk disebut manusia, pun tidak layak disebut binatang, lebih tepatnya sering disebut sebagai Duruwiksa (Buta) mahluk biadab.
Agar pemahaman ke depan tidak menjadi rancu dan membingungkan dalam memahami istilah “Sinar (Astra/ RA/ Matahari), Cahaya (Dewa) dan Terang” maka perlu dijelaskan sebagai berikut;
CAHAYA
Sundayana terbagi dalam tiga bidang ajaran dalam satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisah (Kemanunggalan) yaitu;
  1. Tata-Sali-RA/ Kemanunggalan Diri; berisi tentang pembentukan kualitas manusia yaitu, meleburkan diri dalam “ketunggalan” agar menjadi “diri sendiri” (si Swa) yang beradab, merdeka dan berdaulat atau menjadi seseorang yang tidak tergantung kepada apapun dan siapapun selain kepada diri sendiri.
  2. Tata-Naga-RA/ Kemanunggalan Negeri; yaitu memanunggalkan masyarakat/ bangsa (negara) dalam berkehidupan di Bumi secara beradab, merdeka dan berdaulat. Pembangunan negara yang mandiri, tidak menjajah dan tidak dijajah.
  3. Tata-Buana/ Kemanunggalan Bumi; ialah kebijakan universal (kesemestaan) untuk memanunggalkan Bumi dengan segala isinya dalam semesta kehidupan agar tercipta kedamaian hidup di Buana.
Sesuai dengan bentuk dan dasar pemikiran ajaran Matahari sebagai sumber cahaya maka tata perlambangan wilayah di sekitar Jawa-Barat banyak yang mempergunakan sebutan “Ci” yang artinya “Cahaya”, dalam bahasa India disebut sebagai deva/ dewa (cahaya) yaitu pancaran (gelombang) yang lahir dari Matahari berupa warna-warna. Terdapat lima warna cahaya utama (Pancawarna) yang menjadi landasan filosofi kehidupan bangsa Sunda NusantaRA penganut ajaran Sunda:
  1. Cahaya Putih di timur disebut Purwa, tempat Hyang Iswara.
  2. Cahaya Merah di selatan disebut Daksina, tempat Hyang Brahma.
  3. Cahaya Kuning di barat disebut Pasima, tempat Hyang Mahadewa.
  4. Cahaya Hitam di utara disebut Utara, tempat Hyang Wisnu.
  5. Segala Warna Cahaya di pusat disebut Madya, tempat Hyang Siwa.
Lima kualitas “Cahaya” tersebut sesungguhnya merupakan nilai “waktu” dalam hitungan “wuku”. Kelima wuku (wuku lima) tidak ada yang buruk dan semuanya baik, namun selama ini Sang Hyang Siwa (pelebur segala cahaya/ warna) telah disalah-artikan menjadi “dewa perusak”, padahal arti kata “pelebur” itu adalah “pemersatu” atau yang meleburkan atau memanunggalkan. Jadi, sama sekali tidak terdapat ‘dewa’ yang bersifat merusak dan menghancurkan.
Ajaran Sunda dalam silib-siloka PANAH CHAKRA
Ajaran Sunda dalam silib-siloka “Panah Chakra”
“Ajaran Sunda” di dalam cerita pewayangan dilambangkan dengan Jamparing Panah ChakRA, yaitu ‘raja segala senjata’ milik Sang Hyang Wisnu yang dapat mengalahkan sifat jahat dan angkara-murka, tidak ada yang dapat lolos dari bidikan JamparingPanah ChakRA. Maksudnya adalah;
–          Jamparing = Jampe Kuring
–          Panah = Manah = Hati (Rasa Welas-Asih)
–          ChakRA atau CakRA = Titik Pusaran yang bersinar/ Roda Penggerak Kehidupan (‘matahari’).
–          Secara simbolik gendewa (gondewa) merupakan bentuk bibir yang sedang tersenyum (?).
CHAKRA
 Panah ChakRA di Jawa Barat biasa disebut sebagai“Jamparing Asih” maksudnya adalah “Ajian Manah nu Welas Asih” (ajian hati yang lembut penuh dengan cinta-kasih). Dengan demikian maksud utama dari Jamparing Panah ChakRA atau Jamparing Asih itu ialah “ucapan yang keluar dari hati yang welas asihdapat menggerakan roda kehidupan yang bersinar”.
Keberadaan Panca Dewa kelak disilib-silokakan (diperlambangkan) ke dalam kisah “pewayangan” dengan tokoh-tokoh baru melalui kisah RAmayana(Ajaran RAma) serta kisah MahabhaRAta pada tahun +/-1500 SM; Yudis-ti-RA,  Bi-Ma, RA-ju-Na, Na-ku-La, dan Sa-Dewa.
Kelima cahaya itu kelak dikenal dengan sebutan “Pandawa” singkatan dari “Panca Dewa” (Lima Cahaya) yang merupakan perlambangan atas sifat-sifat kesatria negara. Istilah “wayang” itu sendiri memiliki arti “bayang-bayang”, maksudnya adalah perumpamaan dari kelima cahaya tersebut di atas.
 Bangsa India telah berjasa melakukan pencatatan tentang kejadian besar yang pernah ada di Sunda NusantaRA melalui kisah pewayangan dalam cerita epos RAmayana(Kerajaan Alengka/Majalengka, Cicalengka),  dan MahabhaRAta
Logika sederhananya adalah; India dikenal sebagai bangsa Chandra (Chandra Gupta) sedangkan Sunda NusantaRA dikenal sebagai bangsa Matahari (RA-Hyang), dalam hal ini tentu Matahari lebih unggul dan lebih utama ketimbang Bulan. India diterangi atau dipengaruhi oleh ajaran dan kebudayaan Sunda NusantaRA. Namun demikian tidak dapat disangkal bahwa bukti (jejak) peninggalan yang maha agung itu di Sunda NusantaRA telah banyak dilupakan, diselewengkan hingga dimusnahkan.  
Berkaitan dengan persoalan “Pancawarna”(Danau Pancawarna di daerah Puncak, Cipanas), bagi orang-orang yang lupa kepada “jati diri” (sebagai bangsa Matahari) di masyarakat Sunda NusantaRAt dikenal peribahasa “teu inget ka Purwa Daksina…!” artinya adalah “lupa kepada Merah-Putih” (lupa akan kebangsaan/ tidak tahu diri/ tidak ingat kepada jati diri sebagai bangsa Sunda NusantaRA penganut ajaran Sundayana).
Banyak orang Jawa Barat mengaku dirinya sebagai orang “Sunda”, mereka mengagungkan “Sunda” sebagai genetika biologis dan budayanya yang membanggakan, bahkan secara nyata perilaku diri mereka yang lembut telah menunjukan kesundaannya(sopan-santun dan berbudhi), namun unik dan anehnya mereka ‘tidak mengakui’ bahwa itu semua adalah hasil didikan Ajaran  Sundayana yang telah mereka warisi dari para leluhurnya secara turun-temurun, seolah telah menjadi genetika religi pada diri manusia Sunda NusantaRA.
Masyarakat Jawa Barat tidak menyadari (tidak mengetahui) bahwa perilaku lembut penuh tata-krama sopan-santun dan berbudhi itu terjadi akibat adanya “ajaran” (Sundayana, Sunda Wiwian) yang mengalir di dalam darah mereka dan bergerak tanpa disadari (refleks). Untuk mengatakan kejadian tersebut para leluhur menyebutnya sebagai;
“nyumput buni di nu caang” (tersembunyi ditempat yang terang) artinya adalah; mentalitas, pikiran, perilaku, seni, kebudayaan, filosofi dll. yang mereka lakukan sesungguhnya adalah hasil didikan agama Sunda tetapi si pelaku sendiri tidak mengetahuinya.
Inti pola dasar ajaran Sundayana adalah “berbuat baik dan benar yang dilandasi oleh kelembutan rasa welas-asih. Pola dasar tersebut diterapkan melalui Tri-Dharma (Tiga Kebaikan) yaitu sebagai pemandu ‘ukuran’ nilai atas keagungan diri seseorang/ derajat manusia diukur berdasarkan dharma (kebaikan) :
  1. Dharma Bakti, ialah seseorang yang telah menjalankan budhi kebaikan terhadap diri, keluarga serta di lingkungan kecil tempat ia hidup, manusianya bergelar “Manusia Utama”.
  2. Dharma Suci, ialah seseorang yang telah menjalankan budhi kebaikan terhadap bangsa dan negara, manusianya bergelar “Manusia Unggul Paripurna” (menjadi idola).
  3. Dharma Agung, ialah seseorang yang telah menjalankan budhi kebaikan terhadap segala peri kehidupan baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat, yang tercium, yang tersentuh dan tidak tersentuh, segala kebaikan yang tidak terbatasi oleh ruang dan waktu, manusianya bergelar “Manusia Adi Luhung” (BataRA Guru)
Nilai-nilai yang terkandung di dalam Tri-Dharma ini kelak menjadi pokok ajaran “Budhi-Dharma” (Buddha)yang mengutamakan budhi kebaikan sebagai bukti dan bakti rasa welas-asih terhadap segala kehidupan untuk mencapai kebahagiaan, atau pembebasan diri dari kesengsaraan.
Ajaran ini kelak dilanjutkan dan dikembangkan oleh salah seorang tokoh Mahaguru RAsi Shakyamuni – Sidharta Gautama (‘Sang Budha’), seorang putra mahkota kerajaan Kapilawastu di Nepal – India.
Pembentukan Tri-Dharma Sunda dilakukan melalui tahapan yang berbeda sesuai dengan tingkatan umurnya (?) yaitu :
  1. Dharma RAsa, ialah mendidik diri untuk dapat memahami “rasa” (kelembutan) di dalam segala hal, sehingga mampu menghadirkan keadaan“ngarasa jeung rumasa” (menyadari rasa dan memahami perasaan). Dengan demikian dalam diri seseorang kelak muncul sifat menghormati, menghargai, dan kepedulian terhadap sesama serta kemampuan merasakan yang dirasakan oleh orang lain (pihak lain), hal ini merupakan pola dasar pembentukan sifat “welas-asih” dan manusianya kelak disebut “Dewa-Sa”.
  2. Dharma RAga, adalah mendidik diri dalam bakti nyata (bukti) atau mempraktekan sifat rasa di dalam hidup sehari-hari (*bukan teori) sehingga kelak keberadaan/ kehadiran diri dapat diterima dengan senang hati (bahagia) oleh semua pihak dalam keadaan “ngaraga jeung ngawaruga”(menjelma dan menghadirkan). Hal ini merupakan pola dasar pembentukan perilaku manusia yang dilandasi oleh kesadaran rasa dan pikiran. Seseorang yang telah mencapai tingkatan ini disebut “Dewa-Ta”.
  3. Dharma RAja, adalah mendidik diri untuk menghadirkan “Jati Diri” sebagai manusia “welas-asih” yang seutuhnya dalam segala perilaku kehidupan “memberi tanpa diberi” atau memberi tanpa menerima (tidak ada pamrih). Tingkatan ini merupakan pencapaian derajat manusia paling terhormat yang patut dijadikan suri-teladan bagi semua pihak serta layak disebut (dijadikan) pemimpin.
Ajaran Sunda berlandas kepada sifat bijak-bajik Matahari  yang menerangi dan membagikan cahaya terhadap segala mahluk di penjuru Bumi tanpa pilih kasih dan tanpa membeda-bedakan. Matahari telah menjadi sumber utama yang mengawali kehidupan penuh suka cita, dan tanpa Matahari segalanya hanyalah kegelapan. Oleh sebab itulah para penganut ajaran Sundayana berkiblat kepada Matahari (Sang Hyang Tunggal) sebagai simbol ketunggalan dan kemanunggalan yang ada di langit, dan kiblat agama Sunda itu bukan diciptakan oleh manusia.
Sundayana menyebar ke seluruh dunia, terutama di wilayah Asia, Eropa, Amerika dan Afrika, sedangkan di Australia tidak terlalu menampak. Oleh masyarakat Barat melalui masing-masing kecerdasan kode berbahasa mereka ajaran Matahari ini diabadikan dalam sebutan SUNDAY (hari Matahari), berasal dari kata “Sundayana” dan bangsa Indonesia lebih mengenal Sunday itu sebagai hari Minggu.
Di wilayah Amerika kebudayaan suku Indian, Maya dan Aztec pun tidak terlepas dari pemujaan kepada Matahari, demikian pula di wilayah Afrika dan Asia, singkatnya hampir seluruh bangsa di dunia mengikuti ajaran leluhur bangsa Sunda NusantaRA yang berlandaskan kepada tata-perilaku berbudhi dengan rasa “welas-asih” (cinta-kasih).
Jejak keberadaan ajaran agama Sundayana./Sunda Wiwitan yang kemudian berkembang hingga saat ini terekam dalam kebudayaan masyarakat Roma (kerajaan Romawi) yang menetapkan tanggal 25 Desember sebagai “Hari Matahari” (Sunday) yaitu hari pemujaan kepada Matahari (Sundayana) dan kini masyarakat Indonesia lebih mengenalnya sebagai hari “Natal”.
Oleh bangsa Barat (Eropa dan Amerika) istilah Sundayana ‘dirobah’ menjadi Sunday sedangkan di Nusantara dikenal dengan sebutan “Surya” (*Bangsa Arya ?) yang berasal dari tiga suku kata yaitu Su-RA-Yana, bangsa Sunda NusantaRA memperingatinya dalam upacara “SuRA” (Suro) yang intinya bertujuan untuk mengungkapkan rasa menerima-kasih serta ungkapan rasa syukur atas “kesuburan” negara yang telah memberikan kehidupan dalam segala bentuk yang menghidupkan; baik berupa makanan, udara, air, api (kehangatan), tanah, dan lain sebagainya.
Pengertian Surayana pada hakikatnya sama saja dengan Sundayana sebab mengandung maksud dan makna yang sama.
–          SU = Sejati
–          RA = Sinar/ Maha Cahaya/ Matahari
–          YANA = way of life/ ajaran/ ageman/ agama
Maka arti “Surayana” adalah sama dengan “Agama Matahari yang Sejati” dan dikemudian hari bangsa Indonesia mengenal dan mengabadikannya dengan sebutan “Sang Surya” untuk mengganti istilah “Matahari”.
Perobahan istilah SUNDA
Perobahan istilah “Sunda”
Pepatah leluhur bangsa Sunda NusantaRA menyebutkan “tidak ada asap jika tidak ada api” atau “mustahil ada ranting jika tidak ada dahan” maka segalanya pasti ada yang memulai dan mengajarkan.
5000 tahun sebelum penanggalan Masehi di Asia dalam sejarah peradaban bangsa Mesir kuno  menerangkan (menggambarkan) tentang keberadaan ajaran Matahari dari bangsa Sunda NusantaRA, mereka menyebutnya sebagai “RA” yang artinya adalah Sinar/ Astra/ Matahari/ Sunda.
“RA” digambarkan dalam bentuk “mata” dan diposisikan sebagai “Penguasa Tertinggi” dari seluruh ‘dewa-dewa’ bangsa Mesir kuno yang lainnya, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bangsa Mesirkuno-pun menganut dan mengakui Sundayana (Agama Matahari) yang dibawa dan diajarkan oleh leluhur bangsa Sunda NusantaRA.[Situs Gunung Padang membuktikan peradaban Sunda Nusantara lebih tua dari peradaban  Mesir].
Disisi lain bangsa Indonesia saat ini mengenal bentuk dan istilah “mata” (eye) yang mirip dengan gambaran “AMON-RA” bangsa Mesir kuno, sebutan “amon”mengingatkan kita kepada istilah “panon” yang berarti “mata” yang terdapat pada kata “Sang Hyang Manon”yaitu penamaan lain bagi Matahari di masyarakat Sunda NusantaRA jaman dahulu.( kata Amon danManon memiliki makna yang sama).
Selain di Asia (Mesir) bangsa Indian di Amerika-pun sangat memuja Matahari (sebagai simbol leluhur, dan mereka menyebut dirinya sebagai bangsa “kulit merah”) bahkan masyarakat Inca, Aztec dan Maya di daerah Amerika latin membangun kuil pemujaan yang khusus ditujukan bagi Matahari, hingga mereka menggunakan pola penghitungan waktu yang berlandas pada peredaran Matahari, persis seperti di Sunda NusantaRA (pola penanggalan Saka = Pilar Utama = Inti / Pusat Peredaran = Matahari).

Masyarakat suku Inca di Peru (Amerika Latin) membangun tempat pemujaan kepada Matahari di puncak bukit yang disebut Machu Picchu. Dalam hal ini terlihat jelas bahwa secara umum konsep “meninggikan dengan pondasi yang kokoh” dalam kaitannya dengan “keagungan“ (tinggi, luhur, puncak, maha) merupakan landas berpikir yang utama dala ajaran Sundayana.
Secara filosofis, pola bentuk ‘bangunan’ menuju puncak meruncing (gunungan) itu merupakan perlambangan para Hyang yang ditinggikan atau diluhurkan, hal inipun merupakan silib-siloka tentang perjalanan manusia dari “ada” menuju “tiada” (langit), dari jelma menjadi manusia utama hingga kelak menuju puncak kualitas manusia adiluhung (maha agung).
Demikian pula yang dilakukan oleh suku Maya di Mexico pada jaman dahulu, mereka secara khusus membangun tempat pemujaan (kuil/puRA) kepada Matahari (Sang Hyang Tunggal).
Pada jaman dahulu hampir seluruh bangsa di benua Amerika (penduduk asli) memuja kepada Matahari, dan hebatnya hampir semua bangsa menunjukan hasil kebudayaan yang tinggi. Kemajuan peradaban dalam bidang arsitektur, cara berpakaian, sistem komunikasi (baik bentuk lisan, tulisan, gaya bahasa, serta gambar), adab upacara, dll. Kemajuan dalam bidang pertanian dan peternakan tentu saja yang menjadi yang paling utama, sebab hal tersebut menunjukan kemakmuran masyarakat, artinya mereka dapat hidup sejahtera tentram dan damai dalam kebersamaan hingga kelak mampu melahirkan keindahan dan keagungan dalam berkehidupan (berbudaya).
Sekitar abad ke XV kebudayaan agung bangsa Amerikalatin mengalami keruntuhan setelah datangnya paramissionaris Barat yang membawa misi Gold, Glory dan Gospel. Tujuan utamanya tentu saja Gold (emas/ kekayaan) dan Glory (kejayaan/ kemenangan) sedangkan Gospel (agama) hanya dijadikan sebagai kedok politik agar seolah-olah mereka bertujuan untuk “memberadabkan” sebuah bangsa.
Propaganda yang mereka beritakan tentang perilaku biadab agama Matahari dan kelak dipercaya oleh masyarakat dunia adalah bahwa; “suku terasing penyembah matahari itu pemakan manusia”, hal ini "meme" yang  terjadi di Sumatra Utara serta wilayah lainnya di Sunda NusantaRA.. 
Dibalik propaganda tersebut maksud sesungguhnya kedatangan para ‘penyebar agama’ itu adalah perampokan kekayaan alam dan perluasan wilayah jajahan (imperialisme), sebab mustahil bangsa yang sudah “beragama” harus ‘diagamakan’ kembali dengan ajaran yang tidak berlandas kepada nilai-nilai kebijakan dan kearifan lokalnya.
Dalam pandangan penganut agama Sundayana  bangsa Sunda NusantaRA yang dimaksud dengan “peradaban sebuah bangsa (negaRA)” tidak diukur berdasarkan nilai-nilai material yang semu dan dibuat-buat oleh manusia seperti bangunan megah, emas serta batu permata dan lain sebagainya melainkan terciptanya keselarasan hidup bersama alam (keabadian). Prinsip tersebut tentu saja sangat bertolak-belakang dengan negara-negara lain yang kualitas geografisnya tidak sebaik milik bangsa beriklim tropis seperti di Sunda NusantaRA dan negara tropis lainnya. Leluhur Sunda NusantaRA mengajarkan tentang prinsip kejayaan dan kekayaan sebuah negara sebagai berikut :
“Gunung kudu pageuh, leuweung kudu hejo, walungan kudu herang, taneuh kudu subur, maka bagja rahayu sakabeh rahayatna”
(Gunung harus kokoh, hutan harus hijau, sungai harus jernih, tanah harus subur, maka tentram damai sentausa semua rakyatnya)
“Gunung teu meunang dirempag, leuweung teu meunang dirusak”
(Gunung tidak boleh dihancurkan, hutan tidak boleh dirusak)
Kuil (tempat peribadatan) pemujaan Matahari hampir seluruhnya dibangun berdasarkan pola bentuk “gunungan” dengan landasan segi empat yang memuncak menuju satu titik. Boleh jadi hal tersebut berkaitan erat dengan salah satu pokok ajaran Sunda dalam mencapai puncak kualitas bangsa (negara) seperti Matahari yang bersinar terang, atau sering disebut sebagai “Opat Ka Lima Pancer” yaitu; empat unsur inti alam (Api, UdaRA, Air, Tanah) yang memancar menjadi “gunung” sebagai sumber kehidupan mahluk.
Menilik bentuk-bentuk simbolik serta orientasi pemujaannya maka dapat dipastikan bahwa piramida di wilayah Mesir-pun sesungguhnya merupakan kuil Matahari (SundapuRA). Walaupun sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa piramid itu adalah kuburan para raja namun perlu dipahami bahwa raja-raja Mesir kuno dipercaya sebagai; Keturunan Matahari/ Utusan Matahari/ Titisan Matahari/ ataupun PutRA Matahari, dengan demikian mereka setara dengan “PutRA Sunda”(Utusan Sang Hyang Tunggal).
Untuk sementara istilah “PutRA Sunda” bagi para raja Mesir kuno dan yang lainnya tentu masih terdengar janggal dan aneh sebab selama ini sebutan “Sunda” selalu dianggap sebagai suku, ras maupun wilayah kecil yang ada di pulo Jawa bagian barat saja, istilah “Sunda” seolah tidak pernah terpahami oleh bangsa Indonesia pun oleh masyarakat Jawa Barat sendiri.
Tidak diketahui waktunya secara tepat, 
Sang NaRAyana Galuh Hyang  Agung (Galunggung) mengembangkan dan mengokohkan ajaran Sunda di Jepang, dengan demikian RA atau Matahari begitu kental dengan kehidupan masyarakat Jepang (keturunan Hyang Kate anak Aji Sakti/Sumedang Larang), mereka membangun tempat pemujaan bagi Matahari yang disebut sebagai Kuil NaRA (Na-Ra / Api-Matahari) dan masyarakat Jepang dikenal sebagai pemuja DewiAmate-RA-Su Omikami yang digambarkan sebagai wanita bersinar (Astra / Aster / Astro / Astral / Austra).

Tidak hanya itu, penguasa tertinggi “Kaisar Jepang” pun dipercaya sebagai titisan Matahari atau Putra Matahari (Tenno) dengan kata lain para kaisar Jepang-pun bisa disebut sebagai “PutRA Sunda” (Anak/ Utusan/ Titisan Matahari) dan hingga saat ini mereka mempergunakan Matahari sebagai lambang kebangsaan dan kenegaraan yang dihormati oleh masyarakat dunia.

Dikemudian hari Jepang dikenal sebagai negeri “Matahari Terbit” hal ini disebabkan karena Jepang mengikuti jejak ajaran leluhur bangsa Sunda NusantaRA, hingga pada tahun 1945 ketika pasukan Jepang masuk ke Indonesia dengan misi “Cahaya Asia” mereka menyebut Indonesia sebagai “SaudaRA Tua” untuk kedok politiknya.
Secara mendasar ajaran para leluhur bangsa Sunda NusantaRA dapat diterima di seluruh bangsa (negaRA) karena mengandung tiga pokok ajaran yang bersifat universal (logis dan realistis), tanpa tekanan dan paksaan yaitu :
  1. Pembentukan nilai-nilai pribadi manusia (seseorang) sebagai landasan pokok pembangunan kualitas keberadaban sebuah bangsa (masyarakat) yang didasari oleh nilai-nilai welas-asih (cinta-kasih).
  2. Pembangunan kualitas sebuah bangsa menuju kehidupan bernegara yang adil-makmur-sejahtera dan beradab melalui segala sumber daya bumi (alam/ lingkungan) di wilayah masing-masing yang dikelola secara bijaksana sesuai dengan kebutuhan hidup sehari-hari.
  3. Pemeliharaan kualitas alam secara selaras yang kelak menjadi pokok kekayaan atau sumber daya utama bagi kehidupan yang akan datang pada sebuah bangsa, dan kelak berlangsung dari generasi ke generasi (berkelanjutan).
Demikian ajaran Sunda (SundayanaSurayana/ Agama Matahari) menyebar ke seluruh penjuru Bumi dibawa oleh para Guru Hyang memberikan warna dalam peradaban masyarakat dunia yang diserap dan diungkapkan (diterjemahkan) melalui berbagai bentuk tanda berdasarkan pola kecerdasan masing-masing bangsanya.
Ajaran Sundayana menyesuaikan diri dengan letak geografis dan watak masyarakatnya secara selaras (harmonis) maka itu sebabnya bentuk bangunan suci (tempat pemujaan) tidak menunjukan kesamaan disetiap negara, tergantung kepada potensi alamnya. Namun demikian pola dasar bangunan dan filosofinya memiliki kandungan makna yang sama, merujuk kepada bentuk gunungan.
Di Indonesia sendiri simbol “RA” (Matahari/ Sunda) sebagai ‘penguasa’ tertinggi pada jaman dahulu secara nyata teraplikasikan pada berbagai sisi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Hal itu diungkapkan dalam bentuk (rupa) serta penamaan yang berkaitan dengan istilah “RA” (Matahari) sebagai sesuatu yang sifat agung maupun baik, seperti;
  1. Konsep wilayah disebut “Naga-RA/ Nega-RA”
  2. Lambang negara disebut “Bende-RA”
  3. Maharaja Nusantara bergelar “RA-Hyang”
  4. Keluarga Kerajaan bergelar “RA-Keyan dan RA-Ha-Dian (RAden)”.
  5. Konsep ketata-negaraan disebut “RA-si, RA-tu, RA-ma”
  6. Penduduknya disebut “RA-Hayat” (RAkyat).
  7. Nama wilayah disebut “NusantaRA, Dirganta-RA, Swarganta-RA, Dwipanta-RA, TentaRA, , Indonesia (?)” dll.
KemahaRAjaan (KeRAtuan/ KeRAton) NusantaRA yang terakhir, “Majapahit” kependekan dari MahaRAja-PuRA-Hita (Tempat Suci MahaRAja yang Makmur-SejahteRA) dikenal sebagai pusat pemerintahan “Naga-RA” yang terletak di Kadiri – Jawa Timur sekitar abad XIII masih mempergunakan bentuk lambang Matahari, sedangkan dalam panji-panji kenegaraan lainnya mereka mempergunakan warna “merah dan putih”(Purwa-Daksina) yang serupa dengan pataka (‘bendeRA’) Indonesia saat ini.
Bende-Ra MAJAPAHIT
Bende – RA  Majapahit
Tidak terlepas dari keberadaan ajaran Sundayana (Matahari) dimasa lalu yang kini masih melekat diberbagai bangsa sebagai lambang kenegaraan ataupun hal-hal lainnya yang telah berobah menjadi legenda dan mithos, tampaknya bukti terkuat tentang cikal-bakal (awal) keberadaan ajaran Matahari atau agama “Sundayana” itu masih tersisa dengan langgeng di Bumi NusantaRA/Sunda NusantaRA  yang kini telah beralih nama menjadi Indonesia.
Di Jawa Kulon (Barat) sebagai wilayah suci tertua(Mandala Hyang) tempat bersemayamnya Leluhur Bangsa Matahari (Pa-RA-Hyang) hingga saat ini masih menyisakan penandanya sebagai pusat ajaran Sunda (Matahari), yaitu dengan ditetapkannya kata “Tji” (Ci)yang artinya CAHAYA di berbagai wilayah seperti; Ci Beureum (Cahaya Merah), Ci Hideung (Cahaya Hitam),Ci Bodas (Cahaya Putih), Ci Mandiri (Cahaya Mandiri), dan lain sebagainya. 
Sebutan “Ci” yang kelak diartikan sebagai “air”(cai/nyai) sesungguhnya berarti “cahaya/ kemilau” yang terpantul di permukaan banyu (tirta) akibat pancaran “sinar” (kemilau). Masalah “penamaan/ sebutan” seperti ini oleh banyak orang sering dianggap sepele, namun secara prinsip berdampak besar terhadap “penghapusan” jejak perjalanan sejarah para leluhur bangsa Sunda NusantaRA, Galuh Agung(Galunggung). pendiri agama Sunda (Matahari).



Salam NusantaRA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar